Aku pulang sore hari. Sudah Kuduga, semuanya akan terjadi. Memilih untuk menunda pulang karena hujan yang begitu deras. Namun apa yang ibu pikirkan berbeda. Badai nampaknya akan datang menghampiriku. Sepanjang perjalanan aku memang telah menduganya. Aku adalah seorang anak, benar itu kenyataanya. Namun apa seorang anak harus pulang ketika hujan begitu deras?
Tatapan tajam ibu membuatku sadar betul kalau ia akan memarahiku. Aku menelan ludah kasar. Cukup dengan melihat tatapan itu, sesaat aku membayangkan ketika ibu menyerangku. Hujan turun ketika aku turun dari sepeda motorku. Di depan pintu ibu berdiri tak mengatakan apapun dengan tatapan yang menakutkan. Aku berjalan dengan detak jantung yang tak karuan. Jangankan ingin segera masuk, aku ingin tetap berada di luar rumah bila lagi-lagi harus dimarahi dan dimarahi. “Tak akan lagi aku main ya allah. Tapi tolong luluhkan hati ibu jangan marah padaku hari ini” doaku di setiap langkah.
Ketika aku tepat di depan ibu, ibu berkata “kurang sore!”. Ah, benar dugaanku. Aku hanya duduk di sofa, dengan tertunduk. “Berbohong sama orangtua, katanya sebentar lagi pulang. Dari jam satu kamu loh, lihat jam tidak? Sekarang sudah jam 5 sore rina. Awas ibu tak akan mengijinkan kamu main lagi” lanjut ibu panjang lebar dengan nada bicaranya yang mengancam. This is me, aku tak sekuat anak-anak lain. Selama ibu berbicara, aku mulai menangis namun kucoba menyembunyikan tangisanku.
Mataku benar-benar sembab. Sudah berapa lama aku menangis hingga azan magrib berkumandang. Aku melangkah terburu-buru, agar ibu yang sedang di kamar tak melihatku. Jangankan membuka buku pelajaran, aku terlalu sibuk dengan tangisanku. Setelah shalat magrib, aku merebahkan badanku dan mengotak-atik benda putih di tanganku. Tangisku kembali pecah ketika menceritakan pada sahabat-sahabatku tentang ibu.“Ibu, tadi benar hujan lebat di sana” jawabku pelan, tak berani menatap mata tajamnya. “Tak ada ceritanya di sana hujan, di sini tidak rina” bantah ibu. “Memang benar bu” sanggahku yang bangkit lalu berjalan menuju kamar. Air mata ini tak tertahan lagi, seperti air sungai yang tanggulnya jebol. Setiap pulang sore, memang seperti ini. “Aku menyesal pulang” batinku dengan tangisan yang masih menyertai.
Ibu membuka pintu. “Na, makan dulu” katanya. “Aku tak lapar bu” jawabku cepat dengan nada pelanku. “Kamu cengeng banget, segitu aja. Ibumu hanya khawatir padamu, takut kamu kenapa-kenapa” gerutu ibu lalu menutup pintu. Jawabanku salah lagi, kembali lagi mendapat semprotan perkataan dari ibu. Kalah lagi untuk yang kesekian kalinya. Oh tidak, aku hanya mengalah karena dia adalah ibuku.
Ibu kembali masuk ke kamarku, meletakkan sepiring nasi dan minumnya. Aku tak melirik ibu, tapi dengan suara, aku tahu apa yang sedang ibu lakukan. Ibu tak lagi mengeluarkan suara, hanya hening di antara kami. Tapi benar-benar selera makanku hilang, walau bau makanan kesukaanku begitu kuat masuk ke hidung.
Hingga baru saja beberapa menit ibu meninggalkanku, lampu mati. Aku paling takut dengan kegelapan. aku menyembunyikan seluruh tubuhku dalam selimut tebal. Dugaanku salah, ibu datang ke kamarku untuk menyalakan lampu kamar. Karena ibu tahu, aku paling takut dengan kegelapan dan aku pun tak tahan untuk sekedar menyalakan lampu di sudut depan kamar tidurku. Ibu tak melontarkan satu kata pun, tetap diam. “Ayolah re, ucapkan terimakasih” ajakku pada diriku sendiri. Tapi ajakanku tak membuatku mengucapkan “terimakasih”.
Aku membuka mata, ketika alarm berbunyi. Segera aku meraih benda yang mengeluarkan melodi bervolume tinggi itu. Aku bangkit dari tidurku, lalu mengahampiri kaca. Mataku begitu terlihat sembab karena tangis sore tadi. Ah entah angin apa yang tertiup hingga aku kembali menangis, namun untuk hal yang berbeda. Jam masih menunjukkan pukul 03:17, aku pun melaksanankan shalat tahajjud seperti biasanya, namun dengan air mata yang mengalir begitu saja. Tak bisa dihentikan hingga berakhirnya shalat malamku.
Ibu, aku mulai sadar. Ibu tak salah, aku pun rasanya tak salah. hanya saja keadaan yang membuat ibu memarahiku. Tapi aku sadar, betul aku benar-benar sadar. Rasa sakit di bagian dada, sesak yah karena tangisan saat berdoa di shalat malamku. Aku merasa bersalah dengan apapun yang aku lakukan pada ibu dari sore hingga malam. Tak ingin lagi aku melakukan hal itu. Bertahun-tahun ibu membesarkanku hingga aku duduk di bangku SMA. Aku takut tadi sore menggoreskan luka di hati lembutnya. Dia tak akan marah bila aku tak melawannya. Dia melakukan itu karena khawatir, pada aku anaknya satu-satunya.
Sendiri, aku sendiri menatap dinding-dinding kamarku yang terlihat indah. Merenung begitu dalam, hingga tetesan air mata tak kunjung berhenti. Mencoba menghentikannya begitu sulit. Aku teringat makanan yang ibu bawakan tadi malam, aku pun melahapnya walau tak merasa lapar. Hingga tak ada yang tersisa, aku takut menggoreskan lagi luka di hatinya. Selain ibu, tak akan ada orang yang kecewa tapi membawakan makanan ke kamar orang yang telah mengecewakannya. Menyalakan lampu, ketika mati lampu. siapa lagi kalau bukan ibu?
Ibu, maafkan anakmu karena terus melawanmu beberapa kali. Ibu, aku tak akan mengecewakanmu lagi insyaalllah. Dan yang harus ibu tahu, aku menyesal.